
INDONESIA memasuki usia 80 tahun kemerdekaan. Sejarah panjang bangsa ini telah membuktikan bahwa kedaulatan tidak pernah datang dengan sendirinya, melainkan melalui perjuangan yang terus-menerus. Kini, Indonesia berdiri sebagai negara besar dengan pembangunan infrastruktur meluas, koridor industri tumbuh, dan integrasi nasional makin kuat.
Namun, di balik optimisme itu, lanskap ancaman global kian kompleks: persaingan geopolitik di Asia-Pasifik, dinamika Laut China Selatan, kerawanan jalur energi dan perdagangan, hingga ancaman nontradisional seperti siber, terorisme, dan bencana alam. Dalam situasi seperti itu, pembangunan nasional hanya dapat berjalan bila pertahanan negara kokoh. Presiden Prabowo Subianto, dalam pidato di Pusdikpassus Batujajar pada 10 Agustus 2025, menegaskan, “Kita harus mempertahankan wilayah kita, kedaulatan kita, dan kekayaan kita.” Pernyataan itu menjadi penegasan visi besar bahwa kemandirian bangsa harus dijaga dengan pertahanan yang merata dan siap siaga, bukan hanya terpusat di ibu kota.
STRATEGI PULAU BESAR
Gagasan pertahanan pulau besar merupakan pengejawantahan misi Asta Cita Presiden Prabowo, terutama dalam memperkuat stabilitas keamanan nasional. Visi tersebut juga berpijak pada Undang-Undang (UU) No 59 Tahun 2024 tentang RPJPN 2025–2045, yang menegaskan bahwa pertahanan sebagai prasyarat menuju Indonesia Emas 2045.
Intinya, setiap pulau besar di Indonesia harus mampu menjadi poros pertahanan mandiri: dengan komando, logistik, dan satuan tempur yang memadai. Dalam konteks ini, Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan Bali bukan hanya motor ekonomi, tetapi juga benteng pertahanan yang melindungi penduduk, pusat industri, dan jalur perdagangan internasional.
Dengan pertahanan pulau besar, waktu respons militer menjadi jauh lebih cepat. Ancaman di perbatasan Kalimantan tidak harus menunggu pengerahan dari Jawa. Krisis di Laut Natuna bisa segera direspons dari Kodam setempat. Begitu pula gangguan di Papua dapat ditangani dengan kekuatan yang sudah siap di wilayahnya. Konsep ini bukan sekadar distribusi pasukan, melainkan transformasi sistem pertahanan agar lebih efektif, mandiri, dan sesuai realitas geografi Indonesia.
REFORMASI ORGANISASI TNI
Implementasi strategi ini diwujudkan melalui reformasi besar-besaran organisasi TNI. Perpres Nomor 84 Tahun 2025 mengubah struktur komando elite: Danjen Kopassus naik menjadi Panglima Kopassus dengan pangkat bintang tiga. Perubahan serupa juga terjadi di tubuh Marinir dan Kopasgat, yang kini memiliki panglima setingkat bintang tiga dengan otoritas lebih besar.
Langkah itu diikuti dengan pengembangan 6 Kodam baru, 14 Komando Daerah Angkatan Laut, 3 Komando Daerah Angkatan Udara, 1 Komando Operasi Udara, 6 Grup Kopassus, 20 Brigade Teritorial Pembangunan (BTP), 1 Brigade Marinir, 1 Resimen Kopasgat, 100 Batalyon Teritorial Pembangunan (YTP), 5 Batalyon Marinir, dan 5 Batalyon Kopasgat.
Penempatan Grup Kopassus di pulau-pulau besar selain Pulau Jawa, mempertegas arah desentralisasi kekuatan. Demikian pula penguatan Marinir di jalur strategis maritim dan Kopasgat di wilayah udara. Semua ini ditujukan agar komando dan kendali lebih ringkas, memudahkan operasi gabungan lintas matra, dan mengurangi ketergantungan pada pusat.
Presiden kembali menegaskan filosofi dasarnya: “Kalau kita mempertahankan bangsa kita, kita pertahankan tiap kampung, tiap dukuh, tiap lembah, tiap bukit, tiap gunung, tiap kecamatan, tiap kabupaten, tiap provinsi, tiap jengkal tanah kita pertahankan. Daripada dijajah kembali, lebih baik kita mati.” Pesan ini bukan retorika, melainkan roh yang harus dihayati dalam reformasi pertahanan.
EFEK GANDA BAGI PEMBANGUNAN
Reformasi pertahanan tidak berdiri sendiri. Pembangunan pangkalan, markas, hingga fasilitas logistik baru di tiap pulau besar membawa efek ekonomi langsung bagi masyarakat sekitar. Kehadiran prajurit dan keluarganya menciptakan kebutuhan akan perumahan, pangan, pendidikan, hingga jasa. Perputaran ekonomi lokal pun meningkat.
Selain itu, TNI memiliki peran penting dalam operasi militer selain perang. Prajurit yang tersebar di daerah dapat membantu penanggulangan bencana, mendukung program ketahanan pangan, hingga mendampingi program Makan Bergizi Gratis bagi anak-anak. Dengan begitu, pertahanan tidak hanya identik dengan senjata, tetapi juga menjadi bagian nyata dari kesejahteraan rakyat.
Kemandirian industri pertahanan nasional juga terdorong. Dengan kebutuhan alutsista yang besar, peluang bagi BUMN pertahanan maupun industri swasta nasional semakin luas. Ini selaras dengan cita-cita Presiden agar Indonesia tidak terus bergantung pada produk impor, tetapi mampu memproduksi dan memelihara alutsistanya sendiri.
Lebih jauh lagi, persebaran satuan di pulau besar akan memperkuat rasa kebangsaan. Warga di daerah terluar tidak lagi merasa jauh dari perhatian pusat karena kehadiran TNI secara nyata di tengah kehidupan mereka. Pertahanan menjadi instrumen pemersatu bangsa, menjaga agar setiap sudut Nusantara merasa terlindungi sekaligus dilibatkan dalam cita-cita besar Indonesia Emas 2045.
HARAPAN DAN KERAGUAN PUBLIK
Meski disambut positif, kebijakan ini tetap menimbulkan sejumlah keraguan. Pertama, soal anggaran. Penambahan satuan baru menuntut alokasi dana besar, sementara APBN juga harus menopang program sosial, kesehatan, dan pendidikan. Publik tentu menuntut agar setiap rupiah yang dikeluarkan benar-benar efektif.
Kedua, kekhawatiran akan tumpang tindih komando. Dengan begitu banyak satuan dan struktur baru, tata kelola harus benar-benar jelas agar tidak membingungkan jalur perintah dan pertanggungjawaban.
Ketiga, bayangan militerisme. Sebagian kalangan khawatir peningkatan jumlah satuan akan membuka ruang kembali bagi peran militer yang terlalu besar dalam kehidupan sipil. Di sinilah TNI harus menjawab dengan sikap tegas: profesional, tunduk kepada otoritas sipil, dan fokus pada tugas pertahanan.
Jawaban atas keraguan itu ada pada sikap prajurit sendiri. TNI masa kini harus lebih disiplin, tertib hukum, dan berkomitmen pada prinsip zero tolerance terhadap pelanggaran HAM. Kehadiran satuan baru justru harus memperkuat kepercayaan rakyat, bukan menimbulkan rasa takut.
MAKNA 80 TAHUN KEMERDEKAAN
Delapan dekade Indonesia merdeka bukan hanya soal usia, tetapi juga soal kedewasaan bangsa. Pertahanan pulau besar adalah warisan strategis yang memastikan Indonesia tidak hanya besar di atas peta, tetapi juga kokoh dalam realitas. Ia menjamin pembangunan ekonomi tidak terganggu, memastikan stabilitas politik tetap terjaga, dan meneguhkan kedaulatan di hadapan dunia.
Momentum 80 tahun kemerdekaan menjadi pengingat bahwa kemerdekaan yang diwariskan para pendiri bangsa bukan hadiah, melainkan amanah. Amanah itu kini diteruskan dengan membangun benteng pertahanan di setiap pulau besar agar anak cucu bangsa tidak lagi merasakan getirnya dijajah.
Ke depan, tantangannya ialah menjadikan pertahanan benar-benar dirasakan manfaatnya oleh rakyat. Publik menuntut pertahanan yang efektif, efisien, transparan, dan berorientasi pada kesejahteraan. Dengan strategi pulau besar, Indonesia mengirim pesan kuat ke dunia: negeri ini tidak hanya tumbuh secara ekonomi, tetapi juga berdiri tegar melindungi kedaulatannya dengan kekuatan yang menyebar di tanahnya sendiri.
Dirgahayu Republik Indonesia. Merdeka!