Dalam beberapa tahun terakhir, belanja makanan lewat aplikasi dan online platform makin booming. Mulai dari sayur segar, makan siang cepat, hingga meal kit siap masak, semua dapat dikirim hanya dengan beberapa klik. Praktis, cepat, dan seringkali lebih hemat waktu.
Namun, di balik kenyamanan itu, muncul pertanyaan besar: Apakah e-commerce food shopping (EFS) benar-benar ramah lingkungan dan mendukung keberlanjutan?
Sebuah penelitian terbaru yang dilakukan oleh Ou Wang, Federico J.A. Perez-Cueto, Riccardo Scarpa, dan Frank Scrimgeour dari University of Waikato, Selandia Baru, serta Umeå University, Swedia, yang dipublikasikan dalam British Food Journal tahun 2025, mencoba mencari jawabannya dengan melibatkan lebih dari 2.000 responden di Selandia Baru dan Inggris. Hasilnya mengungkapkan bahwa faktor-faktor seperti kenyamanan, konsumsi berkelanjutan, kemasan, polusi, kepercayaan, dan dampak pada ekonomi lokal berperan besar dalam membentuk persepsi konsumen terkait dengan apakah belanja makanan online benar-benar berkelanjutan.

Disurvei 2.000 Orang, Begini Cara Penelitian Dilakukan
Penelitian ini melibatkan 2.039 responden dengan 1.019 responden berasal dari Selandia Baru dan 1.020 responden dari Inggris. Data dikumpulkan melalui survei online pada akhir 2022. Dalam survei tersebut, para peserta diminta menjawab sejumlah pertanyaan, mulai dari seberapa sering mereka belanja makanan online hingga jenis makanan apa saja yang biasa dibeli, seperti daging segar, sayuran, makanan restoran, atau meal kit.
Selain itu, responden juga menilai dampak belanja online terhadap tiga aspek keberlanjutan yaitu sosial (interaksi, lapangan kerja, dan keamanan pangan), ekonomi (harga, dukungan usaha kecil, dan efisiensi bisnis), serta lingkungan (sampah kemasan, transportasi, dan jejak karbon). Mereka juga diberi pertanyaan terbuka untuk menuliskan pendapat mereka secara bebas mengenai dampak belanja makanan online terhadap keberlanjutan.
Hasil dari jawaban terbuka kemudian dianalisis dan dikelompokkan menjadi 27 tema utama, misalnya “kenyamanan”, “kemasan”, “polusi”, “kualitas”, hingga “ekonomi lokal”. Selanjutnya, data kuantitatif diproses dengan analisis regresi linear untuk mengetahui faktor mana yang paling memengaruhi pandangan positif maupun negatif konsumen. Dengan pendekatan ini, peneliti dapat melihat bukan hanya apa yang orang pikirkan, tetapi juga siapa yang cenderung berpikir demikian.
Kenyamanan Jadi Alasan Utama Konsumen
Mayoritas konsumen ternyata melihat belanja makanan online cukup positif dari sisi keberlanjutan, terutama dalam aspek ekonomi. Mereka menilai EFS mampu mendorong efisiensi bisnis sekaligus membuka peluang lapangan kerja baru.
Kenyamanan menjadi faktor terbesar yang membuat orang menilai EFS secara positif. Banyak konsumen merasa hidup mereka lebih mudah tanpa harus repot keluar rumah untuk berbelanja. Selain itu, belanja makanan online dianggap dapat mendorong konsumsi yang lebih berkelanjutan. Konsumen merasa bisa mengurangi belanja impulsif karena memilih produk dengan lebih tenang dari rumah.

Masalah Plastik dan Polusi Masih Menghantui
Meski demikian, tidak semua hal terlihat cerah. Terdapat sejumlah sisi gelap yang juga mengemuka. Kemasan berlebihan, khususnya plastik sekali pakai, masih menjadi masalah besar.
Polusi dari proses pengantaran dengan kendaraan bermotor menambah jejak karbon, sedangkan interaksi sosial kian berkurang karena masyarakat semakin jarang berbelanja langsung ke pasar atau supermarket. Kekhawatiran lain adalah soal kualitas dan kepercayaan, misalnya produk tidak segar, salah kirim, atau penjual yang kurang transparan. Dari sisi ekonomi, banyak yang mengkhawatirkan bahwa toko-toko kecil bisa tersingkir oleh dominasi raksasa e-commerce.
Generasi Mana yang Paling Optimis dengan Belanja Online?
Konsumen yang sudah sering menggunakan layanan ini cenderung memiliki pandangan yang lebih optimis terhadap dampaknya. Menariknya, baik pasangan yang sudah menikah maupun lajang sama-sama memiliki pandangan positif meskipun alasannya berbeda.
Keluarga merasa terbantu karena praktis untuk kebutuhan sehari-hari, sedangkan konsumen lajang melihatnya sebagai solusi gaya hidup yang cepat dan efisien. Sebaliknya, mahasiswa, pengangguran, dan pensiunan cenderung memiliki pandangan yang lebih negatif. Misalnya, kelompok lansia merasa layanan ini tidak ramah bagi mereka, baik dari segi aksesibilitas maupun pengalaman penggunaan.
Apa yang Bisa Dilakukan Konsumen, Pemerintah, dan Bisnis?
Hasil penelitian ini memberi pesan penting bagi berbagai pihak. Untuk konsumen, kita bisa ikut berkontribusi dengan memilih opsi pengiriman ramah lingkungan seperti jasa pengantaran menggunakan kendaraan listrik atau berbelanja dari toko lokal.
Bagi pemerintah, penelitian ini menegaskan pentingnya regulasi terkait penggunaan kemasan ramah lingkungan serta sistem yang lebih transparan dalam rantai pasok e-commerce. Sedangkan bagi pelaku bisnis, menonjolkan aspek kenyamanan dan keberlanjutan dapat menjadi kunci dalam memenangkan hati konsumen di tengah persaingan yang semakin ketat.